Wednesday, April 30, 2014

NILAI DAN ETIKA LINGKUNGAN DALAM TEORI DAN APLIKASINYA



TUGAS INDIVIDU

NILAI DAN ETIKA LINGKUNGAN DALAM TEORI
DAN APLIKASINYA


s252461010644_9223




Oleh:

RENI SELVIANA
13.13101.10.03


Dosen Pembimbing
Prof. Supli Effendi Rahim, Phd, M.Sc




PROGRAM PASCA SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA HUSADA PALEMBANG
TAHUN 2014


1.            TEORI TENTANG NILAI LINGKUNGAN
1.1        Pengertian Nilai Lingkungan
Nilai atau value adalah ukuran (pada diri seseorang) tentang sesuatu (sikap, kata, situasi dan lain lain) yang dapat (selalu atau sering kali) mempengaruhi perilakunya. Nilai selalu mempunyai kaitan dengan norma atau petunjuk-petunjuk agar mempunyai hidup serta berperilaku yang baik.
Menurut Jujun S. Suriasumantri, istilah aksiologi diartikan sebagai teori nilai, berkaitan dengan kegunaan pengetahuan yang diperoleh. Secara teori, aksiologi dibagi kepada tiga bagian, yaitu: (1) Moral Conduct (tindakan moral), (2) Esthetic Expression (Ekspresi Keindahan), dan (3) Sosio Political Live (Kehidupan Sosial Politik).
Terkait dengan nilai etika atau moral, sebenarnya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral, namun dalam perspektif yang berbeda. Teori nilai menyangkut sikap manusia untuk menyatakan baik atau jelek, benar atau salah, diterima atau ditolak. Dengan demikian manusia memberikan konfirmasi mengenai sejauh mana manfaat dari obyek yang dinilainya. Demikian juga terhadap ilmu.
Ilmu dan moral memiliki keterkaitan yang kuat. Ilmu bisa jadi malapetaka kemanusiaan jika seseorang yang memanfaatkannya “tidak bermoral” atau paling tidak mengindahkan nilai-nilai moral yang ada. Namun sebaliknya, ilmu akan menjadi rahmat bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara benar dan tepat,tentunya tetap mengindahkan aspek moral. Berbicara moral sama artinya berbicara masalah etika atau susila, mempelajari kaidah-kaidah yang membimbing kelakuan manusia sehingga baik dan lurus.Karena moral umum diukur dari sikap manusia pelakunya,timbul pula perbedaan penafsiran.
Dalam teori nilai, masalah etika atau susila mengakibatkan berbagai pendapat tentang etika tergantung citra dan tujuannya. Ada etika individual dan sosial, ada etika situasi dan esensial. Dua pertentangan dalam etika modern, yaitu etika yang memperhatikan faktor psikologi secara nilai kebahagiaan, dan etika situasi atau historisme yang berpendapat bahwa ukuran baik dan jahat ditentukan oleh situasi atau keadaan zaman.
Adapun teori nilai dari sisi estetika, titik tekannya adalah pada penilaian subjek terhadap objek, atau berusaha memilah dan membedakan suatu sikap atau perbuatan objek. Penilaian ini, kadang objektif dan kadang subjektif tergantung hasil pandangan yang muncul dari pikiran dan perasaan manusia. Penilaian menjadi subjektif apabila nilai sangat berperan dalam segala hal. Mulai dari kesadaran manusia yang melakukan penilaian sampai pada eksistensinya dalam lingkungan. Untuk itu, makna dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek pada objek yang dinilai tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisik. Artinya, penilaian subjektif akan selalu memperhatikan akal budi manusia, seperti perasaan dan intelektualitas. Makanya, hasil dari penilaian ini selalu mengarah pada suka atau tidak sukanya subjek, atau senang dan tidak senang. Seperti, keindahan sebuah karya seni tidak dikurangi dengan selera (perasaan) rendah orang yang menilai.
Lain halnya pelacakan teori nilai melalui kacamata sosial, penilaian ini berangkat dari penilaian pola tingkah laku, pola berfikir, dan interaksi Objek dengan lingkungannya. Sehingga titik tekannya pada cara mengamati kecenderungan objek dalam lingkungan. Menurut Ambroise seperti yang dikutip oleh Rahmat Mulyana, menekankan bahwa dalam pengamatan ketiga realitas nilai itu terdapat perbedaan kultural antara suatu masyarakat atau bangsa dengan yang lainnya.
Untuk itu, dapat dipahami bahwa ketiga teori nilai tersebut di atas, terdapat prinsip-prinsip relatifitas dalam penilaiannya. Tapi walaupun demikian, kata kunci ialah dibalik relatifitas nilai tersebut setiap orang yang menggunakan ilmu harus mengembalikan kepada tujuan awal dari ilmu tersebut, yaitu ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau bahkan mengubah hakikat kemanusiaan.









2.            TEORI TENTANG ETIKA LINGKUNGAN
2.1         Pengertian Etika Lingkungan
Etika Lingkungan berasal dari dua kata, yaitu Etika dan Lingkungan. Etika berasal dari bahasa yunani yaitu “Ethos” yang berarti adat istiadat atau kebiasaan. Ada tiga teori mengenai pengertian etika, yaitu: etika Deontologi, etika Teologi, dan etika Keutamaan. Etika Deontologi adalah suatu tindakan di nilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika Teologi adalah baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan atau akibat suatu tindakan. Sedangkan Etika keutamaan adalah mengutamakan pengembangan karakter moral pada diri setiap orang.
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lain baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan penerapan etika lingkungan sebagai berikut:
a.       Manusia merupakan bagian dari lingkungan yang tidak terpisahkan sehngga perlu menyayangi semua kehidupan dan lingkungannya selain dirinya sendiri.
b.       Manusia sebagai bagian dari lingkungan, hendaknya selalu berupaya untuk menjaga terhadap pelestarian , keseimbangan dan keindahan alam.
c.       Kebijaksanaan penggunaan sumber daya alam yang terbatas termasuk bahan energy.
d.       Lingkungan disediakan bukan untuk manusia saja, melainkan juga untuk makhluk hidup yang lain.
Etika lingkungan merupakan kebijaksanaan moral manusia dalam bergaul dengan lingkungannya.etika lingkungan diperlukan agar setiap kegiatan yang menyangkut lingkungan dipertimbangkan secara cermat sehingga keseimbangan lingkungan tetap terjaga. Etika lingkungan dapat dikategorikan kedalam etika pelestarian dan etika pemeliharaan.  Etika pelestarian adalah etika yang menekankan pada mengusahakan pelestarian alam untuk kepentingan manusia, sedangkan etika pemeliharaan dimaksudkan untuk mendukung usaha pemeliharaan lingkungan untuk kepentingan semua mahluk. Etika lingkungan dapat dibedakan menjadi etika lingkungan dangkal (shallow environmental ethics), etika lingkungan moderat (moderate environmental ethics) dan etika lingkungan dalam (deep environmental ethics). Di sini hanya akan dibicarakan yang pertama dan yang ketiga. Karena yang kedua merupakan peralihan antara yang pertama dan yang kedua.
2.2  Jenis-Jenis Etika Lingkungan
Etika Lingkungan disebut juga Etika Ekologi. Etika Ekologi selanjutnya dibedakan dan menjadi dua  yaitu etika ekologi dalam dan etika ekologi dangkal. Selain itu etika lingkungan juga dibedakan lagi sebagai etika pelestarian dan etika pemeliharaan. Etika pelestarian adalah etika yang menekankan pada mengusahakan pelestarian alam untuk kepentingan manusia, sedangkan etika pemeliharaan dimaksudkan untuk mendukung usaha pemeliharaan lingkungan untuk kepentingan semua makhluk.
a.    Etika Ekologi Dangkal
Etika ekologi dangkal adalah pendekatan terhadap lingkungan yang menekankan bahwa lingkungan sebagai sarana untuk kepentingan manusia, yang bersifat antroposentris. Etika ekologi dangkal ini biasanya diterapkan pada filsafat rasionalisme dan humanisme serta ilmu pengetahuan mekanistik yang kemudian diikuti dan dianut oleh banyak ahli lingkungan. Kebanyakan para ahli lingkungan ini memiliki pandangan bahwa alam bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Secara umum, Etika ekologi dangkal ini menekankan hal-hal berikut ini :
1.       Manusia terpisah dari alam.
2.        Mengutamakan hak-hak manusia atas alam tetapi tidak menekankan tanggung jawab manusia.
3.       Mengutamakan perasaan manusia sebagai pusat keprihatinannya.
4.       Kebijakan dan manajemen sunber daya alam untuk kepentingan manusia.
5.       Norma utama adalah untung rugi.
6.       Mengutamakan rencana jangka pendek.
7.        Pemecahan krisis ekologis melalui pengaturan jumlah penduduk khususnya    dinegara miskin. 




b.      Etika Ekologi Dalam
      Etika ekologi dalam adalah pendekatan terhadap lingkungan yang melihat pentingnya memahami lingkungan sebagai keseluruhan kehidupan yang saling menopang, sehingga semua unsur mempunyai arti dan makna yang sama. Etika Ekologi ini memiliki prinsip yaitu bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai bawaan dan karena itu memiliki hak untuk menuntut penghargaan karena harga diri, hak untuk hidup dan hak untuk berkembang. Premisnya adalah bahwa lingkungan moral harus melampaui spesies manusia dengan memasukkan komunitas yang lebih luas. Komunitas yang lebih luas disini maksudnya adalah komunitas yang menyertakan binatang dan tumbuhan serta alam.
Secara umum etika ekologi dalam ini menekankan hal-hal berikut :
1.      Manusia adalah bagian dari alam.
2.       Menekankan hak hidup mahluk lain, walaupun dapat dimanfaatkan oleh manusia, tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang.
3.       Prihatin akan perasaan semua mahluk dan sedih kalau alam diperlakukan sewenang-wenang.
4.      Kebijakan manajemen lingkungan bagi semua mahluk.
5.       Alam harus dilestarikan dan tidak dikuasai.
6.       Pentingnya melindungi keanekaragaman hayati.
7.       Menghargai dan memelihara tata alam.
8.      Mengutamakan tujuan jangka panjang sesuai ekosistem.
9.      Mengkritik sistem ekonomi dan politik dan menyodorkan sistem alternatif yaitu
sistem mengambil sambil memelihara. 
Demikian pembagian etika lingkungan, Keduanya memiliki beberapa perbedaan-perbedaan seperti diatas. Tetapi bukan berarti munculnya etika lingkungan ini memberi jawab langsung atas pertanyaan mengapa terjadi kerusakan lingkungan. Namun paling tidak dengan adanya gambaran etika lingkungan ini dapat sedikit menguraikan norma-norma mana yang dipakai oleh manusia dalam melakukan pendekatan terhadap alam ini. Dengan demikian etika lingkungan berusaha memberi sumbangan dengan beberapa norma yang ditawarkan untuk mengungkap dan mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.



2.2  Aliran Etika Lingkungan
1.      Shallow environmental ethics/Antroposentrisme
Antroposentrisme (antropos = manusia) adalah suatu pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Pandangan ini berisi pemikiran bahwa segala kebijakan yang diambil mengenai lingkungan hidup harus dinilai berdasarkan manusia dan kepentingannya. Jadi, pusat pemikirannya adalah manusia. Kebijakan terhadap alam harus diarahkan untuk mengabdi kepada kepentingan manusia. Pandangan moral lingkungan yang antroposentrisme disebut juga sebagai human centered ethic, karena mengandaikan kedudukan dan peran moril lingkungan hidup yang terpusat pada manusia. Maka tidak heran kalau fokus perhatian dalam pandangan ini terletak pada peningkatan kesejahteraan dan kebahagian manusia di dalam alam semesta. Alam dilihat hanya sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Dengan demikian alam dilihat sebagai alat bagi pencapaian tujuan manusia.
Teori lingkungan ini memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya, yaitu : nilai dan prinsip moral hanya berlaku bagi manusia dan etika hanya berlaku bagi manusia.
Antroposentrisme selain bersifat antroposentris, juga sangat instrumentalistik. Artinya pola hubungan manusia dan alam di lihat hanya dalam relasi instrumental. Alam ini sebagai alat bagi kepentingan manusia, sehingga apabila alam atau komponennya dinilai tidak berguna bagi manusia maka alam akan diabaikan (bersifat egois).
Karena bersifat instrumentalik dan egois maka teori ini dianggap sebagai sebuah etika lingkungan yang dangkal dan sempit (Shallow environmental ethics). Teori ini dianggap sebagai salah satu penyebab, bahkan penyebab utama, dari krisis lingkungan yang terjadi. Teori ini menyebabkan manusia mengeksploitasi dan menguras alam semesta demi memenuhi kepentingan dan kebutuhan hidupnya dan tidak peduli terhadap alam.   




Etika antroposentris ini memahami bahwa alam merupakan sumber hidup manusia. Etika ini menekankan hal-hal berikut ini :
1.      Manusia terpisah dari alam
2.      Mengutamakan hak-hak manusia atas alam tetapi tidak menekankan tanggung jawab manusia.
3.  Mengutamakan perasaan manusia sebagai pusat keprihatinannya
4.  Kebijakan dan manajemen sunber daya alam untuk kepentingan manusia
5.  Norma utama adalah untung rugi.
6.  Mengutamakan rencana jangka pendek.
    7. Pemecahan krisis ekologis melalui pengaturan jumlah penduduk khususnya dinegara miskin
8.  Menerima secara positif pertumbuhan ekonomi
Antroposentrisme didasarkan pada pandangan filsafat yang mengklaim bahwa hal yang bernuansa moral hanya berlaku pada manusia. Manusia di agungkan sebagai yang mempunyai nilai paling tinggi dan paling penting dalam kehidupan ini, jauh melebihi semua mahluk lain. Ajaran yang telah menempatkan manusia sebagai pusat suatu sistem alam semesta ini telah membuat arogan terhadap alam, dengan menjadikan sebagai objek untuk dieksploitasi.
Antroposentrisme atau ada yang menyebut egosentrisme merupakan buah dari alam pikiran modern tersarikan dari esensialisme kesadaran akan kenyataan otonomi manusia di hadapan alam semesta, yang mulai muncul di bawah semboyan terkenal: Sapere Aude! (berpikirlah sendiri!) dan Cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada)-nya Rene Descartes. Dengan semboyan kokoh ini, alam pikiran modern benar-benar menjadi masa di mana rasionalitas manusia muncul dan menggeser segala otoritas non-rasio, termasuk agama. Dari kesadaran essensialisme inilah embrio nalar antroposentrisme mulai nampak. Keyakinan akan rasionalitas manusia pada momen berikutnya mengejawantah dalam aktifitas kreatif, penciptaan, dan inovasi sains dan teknologi hingga munculnya masyarakat ekonomi global yang pada akhirnya membawa bencana yang maha dahsyat, yakni krisis lingkungan yang justru mewarnai optimisme modernitas ini. Mula-mula secara embrional, masyarakat ekonomi global lahir dari rahim revolusi industri dan revolusi hijau, yang telah menggeser masyarakat feodal yang mapan. Masyarakat ekonomi baru ini senantiasa didominasi oleh keinginan untuk memanfaatkan sebesar-besarnya potensi alam untuk kemakmuran dan kesejahteraan manusia karena motif ekonominya yang begitu dominan, pada akhirnya tidak ramah terhadap lingkungan.
Menurut Hossein Nasr Manusia modern telah mendesakralisasi alam, meskipun proses ini sendiri hanya di bawa ke kesimpulan logisnya oleh sekelompok minoritas. Apalagi alam telah dipandang sebagai sesuatu yang harus digunakan  dan dinikmati semaksimal mungkin.
 Etika antroposentrisme pada akhirnya bukannya tanpa kritik. Setidaknya, oleh berbagai aliran etika lingkungan yang muncul belakangan, baik oleh etika neo-antroposentrisme (yang hendak memperbaiki kesalahan-kesalahan pendahulunya), etika biosentrisme (yang menganggap semua makhluk adalah pusat kehidupan, dan masing-masing memiliki nilai dan tujuan, dengan demikian, manusia tidak lebih unggul dari spesies yang lain, karena ia tidak lain adalah anggota dari komunitas kehidupan), etika ekosentrisme (yang menganggap bahwa bukan hanya manusia dan benda yang hidup saja yang menjadi anggota ekosistem, tetapi juga benda mati [abiotik]), dan etika kepedulian (yang menganggap bahwa antara manusia dan alam adalah sama-sama lemahnya, dan tidak bisa hidup dengan dirinya sendiri, karenanya manusia di dalam relasinya dengan alam harus mengedepankan sikap kepedulian).
Antroposentrisme sangat bersifat instrumentalis, dimana pola hubungan manusia dengan alam hanya terbatas pada relasi instrumental semata. Alam dilihat sebagai alat pemenuhan dan kepentingan manusia. Teori ini dianggap sebagai sebuah etika lingkungan yang dangkal dan sempit ( shallow environmental ethics ).
Teori antroposentrisme telah dituduh sebagai salah satu penyebab bagi terjadinya krisis lingkungan hidup. Pandangan inilah yang menyebabkan manusia berani melakukan tindakan eksploitatif terhadap alam, dengan menguras kekayaan alam demi kepentingannya. Kepedulian lingkungan hanya muncul sejauh terkait dengan kepentingan manusia, dan itupun lebih banyak berkaitan dengan kepentingan jangka pendek saja.
Walaupun kritik banyak dilontarkan terhadap teori antroposentrisme, namun sebenarnya argumen yang ada didalamnya cukup sebagai landasan kuat bagi pengembangan sikap kepedulian terhadap alam. Manusia membutuhkan lingkungan hidup yang baik, maka demi kepentingan hidupnya, manusia memiliki kewajiban memelihara dan melestarikan alam lingkungannya. Kekurangan pada teori ini terletak pada pendasaran dari tindakan memberi perhatian pada alam, yang tidak didasarkan pada kesadaran dan pengakuan akan adanya nilai ontologis yang dimiliki oleh alam itu sendiri, melainkan hanya kepentingan manusia semata.


2.   Intermediate Environmental Etnics/Biosentrisme
Biosentrisme adalah suatu pandangan yang menempatkan alam sebagai yang mempunyai nilai dalam dirinya sendiri, lepas dari kepentingan manusia. Dengan demikian biosentrisme menolak antroposentrisme yang menyatakan bahwa manusialah yang mempunyai nilai dalam dirinya sendiri. Teori biosentrisme berpandangan bahwa mahluk hidup bukan hanya manusia saja. Ada banyak hal dan jenis mahluk hidup yang memiliki kehidupan. Hanya saja, hal yang rumit dari biosentrisme, atau yang disebut juga life-centered ethic, terletak pada cara manusia menanggapi pertanyaan: ”Apakah hidup itu?”. Pandangan biosentrisme mendasarkan moralitas pada keluhuran kehidupan, entah pada manusia atau pada mahluk hidupnya. Karena yang menjadi pusat perhatian dan ingin dibela dalam teori ini adalah kehidupan, maka secara moral berlaku prinsip bahwa setiap kehidupan dimuka bumi ini mempunyai nilai moral yang sama, sehingga harus dilindungi dan diselamatkan. Oleh karena itu, kehidupan setiap mahluk hidup pantas diperhitungkan secara serius dalam setiap keputusan dan tindakan moral, bahkan lepas dari pertimbangan untung rugi bagi kepentingan manusia.
Teori lingkungan ini memandang setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri. Tidak hanya manusia yang mempunyai nilai, alam juga mempunyai nilai pada dirinya sendiri lepas dari kepentingan manusia. Biosentrisme menolak argumen antroposentrisme, karena yang menjadi pusat perhatian dan yang dibela oleh teori ini adalah kehidupan, secara moral berlaku prinsip bahwa setiap kehidupan di muka bumi ini mempunyai nilai moral yang sama sehingga harus dilindungi dan diselamatkan.
Konsekuensinya alam semesta adalah sebuah komunitas moral baik pada manusia maupun pada makhluk hidup lainnya. Manusia maupun bukan manusia sama-sama memiliki nilai moral, dan kehidupan makhluk hidup apapun pantas dipertimbangkan secara serius dalam setiap keputusan dan tindakan moral, bahkan lepas dari perhitungan untung-rugi bagi kepentingan manusia.
Teori Biosentrisme mengagungkan nilai kehidupan yang ada pada ciptaan, sehingga komunitas moral tidak lagi dapat dibatasi hanya pada ruang lingkup manusia. Mencakup alam sebagai ciptaan sebagai satu kesatuan komunitas hidup (biotic community).
 Inti pemikiran biosentrisme adalah bahwa setiap ciptaan mempunyai nilai intrinsik dan keberadaannya memiliki relevansi moral. Setiap ciptaan (makhluk hidup) pantas mendapatkan keprihatinan dan tanggung jawab moral karena kehidupan merupakan inti pokok dari konsern moral. Prinsip moral yang berlaku adalah “mempertahankan serta memlihara kehidupan adalah baik secara moral, sedangkan merusak dan menghancurkan kehidupan adalah jahat secara moral” (Light, 2003: 109).
Biosentrisme memiliki tiga varian, yakni, the life centered theory (hidup sebagai pusat), yang dikemukakan oleh Albert Schweizer dan Paul Taylor, land ethic (etika bumi), dikemukakan oleh Aldo Leopold, dan equal treatment (perlakuan setara), dikemukakan oleh Peter Singer dan James Rachel.
Etika lingkungan Biosentrisme adalah etika lingkungan yang lebih menekankan kehidupan sebagai standar moral. Salah satu tokoh penganutnya adalah Kenneth Goodpaster. Menurut Kenneth rasa senang atau menderita bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Bukan senang atau menderita, akhirnya, melainkan kemampuan untuk hidup atau kepentingan untuk hidup. Kepentingan untuk hidup yang harus dijadikan standar moral. Sehingga bukan hanya manusia dan binatang saja yang harus dihargai secara moral tetapi juga tumbuhan. Menurut Paul Taylor, karenanya tumbuhan dan binatang secara moral dapat dirugikan dan atau diuntungkan dalam proses perjuangan untuk hidup mereka sendiri, seperti bertumbuh dan bereproduksi.
Biosentrisme menekankan kewajiban terhadap alam bersumber dari pertimbangan bahwa kehidupan adalah sesuatu yang bernilai, baik kehidupan manusia maupun spesies lain dimuka bumi ini. Prinsip atau perintah moral yang berlaku disini dapat dituliskan sebagai berikut: ” adalah hal yang baik secara moral bahwa kita mempertahankan dan memacu kehidupan, sebaliknya, buruk kalau kita menghancurkan kehidupan”.
Biosentrisme melihat alam dan seluruh isinya mempunyai harkat dan nilai dalam dirinya sendiri. Alam mempunyai nilai justru karena ada kehidupan yang terkandung didalamnya. Kewajiban terhadap alam tidak harus dikaitkan dengan kewajiban terhadap sesama manusia. Kewajiban dan tanggung jawab terhadap alam semata-mata didasarkan pada pertimbangan moral bahwa segala spesies di alam semesta mempunyai nilai atas dasar bahwa mereka mempunyai kehidupan sendiri, yang harus dihargai dan dilindungi.
Biosentrisme memandang manusia sebagai mahluk biologis yang sama dengan mahluk biologis yang lain. Manusia dilihat sebagai salah satu bagian saja dari keseluruhan kehidupan yang ada dimuka bumi, dan bukan merupakan pusat dari seluruh alam semesta. Maka secara biologis manusia tidak ada bedanya dengan mahluk hidup lainnya. Salah satu tokoh yang menghindari penyamaan begitu saja antara manusia dengan mahluk hidup lainnya adalah Leopold. Menurut dirinya, manusia tidak memiliki kedudukan yang sama begitu saja dengan mahluk hidup lainnya. Kelangsungan hidup manusia mendapat tempat yang penting dalam pertimbangan moral yang serius. Ahanya saja, dalam rangka menjamin kelangsungan hidupnya, manusia tidak harus melakukannya dengan cara mengorbankan kelangsungan dan kelestarian komunitas ekologis. Manusia dapat menggunakan alam untuk kepentingannya, namun dia tetap terikat tanggung jawab untuk tidak mengorbankan integrity, stability dan beauty dari mahluk hidup lainnya. unjtuk mengatasi berbagai kritikan atas klaim pertanyaan antara manusia dengan mahluk biologis lainnya, salah seorang tokoh biosentrisme, Taylor, membuat pembedaan antara pelaku moral (moral agents) dan subyek moral (moral subjects). Pelaku moral adalah manusia karena dia memiliki kemampuan untuk bertindak secara moral, berupa kemampuan akal budi dan kebebasan. Maka hanya manusialah yang memikul kewajiban dan tanggung jawab moral atas pilihan-pilihan, dan tindakannya. Sebaliknya, subyk moral adalah mahluk yang bisa diperlakukan secara baik atau buruk, dan itu berarti menyangkut semua mahluk hidup, termasuk manusia. Dengan demikian semua pelaku moral adalah juga subyek moral, namun tidak semua subyek moral adalah pelaku moral, di mana pelaku moral memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap mereka.
Teori ini memberi bobot dan pertimbangan moral yang sama kepada semua mahluk hidup. Disini dituntut bahwa alam dan segala kehidupan yang terkandung didalamnya haruslah masuk dalam pertimbangan dan kepedulian moral. Manusia tidak mengorbankan kehidupan lainnya begitu saja atas dasar pemahaman bahwa alam dan segala isinya tidak bernilai dalam dirinya sendiri.


3.    Ekosentrisme/ Deep Environmental Etnics
Ekosentrisme, yang disebut juga deep environmental ethics, semakin dipopulerkan dengan versi lain setelah diperkenalkan oleh Arne Naes, seorang filsuf Norwegia dengan menyebutnya sebagai Deep Ecology ini adalah suatu paradigma baru tentang alam dan seluruh isinya. Perhatian bukan hanya berpusat pada manusia melainkan pada mahluk hidup seluruhnya dalam kaitan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. Manusia bukan lagi pusat dari dunia moral. Deep Ecology memusatkan perhatian kepada semua kehidupan di bumi ini, bukan hanya kepentingan seluruh komunitas ekologi.     
Arne Naes bahkan juga menggunakan istilah ecosophy untuk memberikan pendasaran filosofi atas deep ecology. “Eco” berarti rumah tangga dan “sophy” berarti kearifan atau kebijaksanaan. Maka ecosophy berarti kearifan dalam mengatur hidup selaras dengan alam sebagai sebuah rumah tangga dalam arti luas. Dalam pandangan ecosophy terlihat adanya suatu pergeseran dari sekedar sebuah ilmu (science) menjadi sebuah kearifan (wisdom). Dalam arti ini, lingkungan hidup tidak hanya sekedar sebuah ilmu melainkan sebuah kearifan, sebuah cara hidup, sebuah pola hidup selaras dengan alam. Ini adalah cara untuk menjaga dan memelihara lingjkungannya secara arid, layaknya sebuah rumah tangga.
Deep ecology menganut prisip biospheric egalitarianism, yaitu pengakuan bahwa semua organisme dan mahluk hidup adalah anggota yang sama statusnya dari suatu keseluruhan yang terkait sehingga mempunyai martabat yang sama. Ini menyangkut suatu pengakuan bahwa hak untuk hidup dan berkembang untuk semua mahluk (baik hayati maupun nonhayati) adalah sebuah hak univerval yang tidak bisa diabaikan.
Sikap deep ecology terhadap lingkungan sangat jelas, tidak hanya memusatkan perhatian pada dampak pencemaran bagi kesehatan manusia, teapi juga pada kehidupan secara keseluruhan. Pendekatan yang dilakukan dalam menghadapi berbagai issue lingkungan hidup bukan bersifat antroposentris, melainkan biosentris dan bahkan ekosentris. Isi alam semesta tidak dilihat hanya sebagai sumberdaya dan menilainya dari fungsi ekonomis semata. Alam harus dipandang juga darisegi nilai dan fungsi budaya, sosial, spiritual, medis dan biologis.
Teori ini secara ekologis memandang makhluk hidup (biotik) dan makhluk tak hidup (abiotik) lainnya saling terkait satu sama lainnya. Etika diperluas untuk mencakup komunitas ekologis seluruhnya, baik yang hidup maupun tidak. Kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup.
Salah satu versi ekosentrisme adalah Deep Ecology. DE diperkenalkan oleh Arne Naess (filsuf Norwegia) tahun 1973 dalam artikelnya ”The shallow and the Deep, Long-range Ecological Movement: A summary”. DE menuntut suatu etika baru yang tidak berpusat pada manusia, tetapi berpusat pada makhluk hidup seluruhnya dalam kaitannya dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup.
Etika ekosentris mendasarkan diri pada kosmos. Menurut etika ekosentris ini, lingkungan secara keseluruhan dinilai pada dirinya sendiri. Etika ini menurut aliran  etis ekologi tingkat tinggi yakni deep ecology, adalah yang paling mungkin sebagai alternatif untuk memecahkan dilema etis ekologis. Menurut ekosentrisme, hal yang paling penting adalah tetap bertahannya semua yang hidup dan yang tidak hidup sebagai komponen ekosistem yang sehat, seperti halnya manusia, semua benda kosmis memiliki tanggung jawab moralnya sendiri (J. Sudriyanto, 1992:243).
 Menurut etika ini, bumi memperluas berbagai ikatan komunitas yang mencakup “tanah, air, tumbuhan dan binatang atau secara kolektif, bumi”. Bumi mengubah  perah “homo sapiens” dari makhluk komunitas bumi, menjadi bagian susunan warga dirinya. terdapat rasa hormat terhadap anggota yang lain dan juga terhadap komunitas alam itu sendiri (J. Sudriyanto, 1992:2-13). Etika ekosentris bersifat holistik, lebih bersifat mekanis atau metafisik. Terdapat lima asumsi dasar yang secara implisit ada dalam perspektif holistik ini, J. Sudriyanto (1992:20) menjelaskan:
  1. Segala sesuati itu saling berhubungan. Keseluruhan merupakan bagian, sebaliknya perubahan yang terjadi adalah pada bagian yang akan mengubah bagian yang lain dan keseluruhan. Tidak ada bagian dalam ekosistem yang dapat diubah tanpa mengubah dinamika perputarannya. Jika terdapat banyak perubahan yang terjadi maka akan terjadi kehancuran ekosistem.
  2. Keseluruhan lebih daripada penjumlahan banyak bagian. Hal ini tidak dapat disamakan dengan konsep individu yang mempunyai emosi bahwa keseluruhan sama dengan penjumlahan dari banyak bagian. Sistem ekologi mengalami proses sinergis, merupakan kombinasi bagian yang terpisah dan akan menghasilkan akibat yang lebih besar daripada penjumlahan efek-efek individual.
  3. Makna tergantung pada konteksnya, sebagai lawan dari “independensi konteks” dari “mekanisme”. Setiap bagian mendapatkan artinya dalam konteks keseluruhan.
  4. Merupakan proses untuk mengetahui berbagai bagian.
  5. Alam manusia dan alam non manusia adalah satu. Dalam holistik tidak terdapat dualisme. Manusia dan alam merupakan bagian dari sistem kosmologi organik yang sama.
Uraian di atas akan mengantarkan pada sebuah pendapat Arne Naess, seorang filsuf Norwegia bahwa kepedulian terhadap alam lingkungan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1.      Kepedulian lingkungan yang “dangkal” (shallow ecology)
2.      Kepedulian lingkungan yang “dalam” (deep ecology).
Kepedulian ekologis ini sering disebut altruisme platener holistik, yang beranggapan bahwa hal ini memiliki relevansi moral hakiki, bukan tipe-tipe pengadu (termasuk individu atau masyarakat), melainkan alam secara keseluruhan (J. Sudriyanto, 1992:22).
Etika Lingkungan Ekosentrisme adalah sebutan untuk etika yang menekankan keterkaitan seluruh organisme dan anorganisme dalam ekosistem. Setiap individu dalam ekosistem diyakini terkait satu dengan yang lain secara mutual. Planet bumi menurut pandangan etika ini adalah semacam pabrik integral, suatu keseluruhan organisme yang saling membutuhkan, saling menopang dan saling memerlukan. Sehingga proses hidup-mati harus terjadi dan menjadi bagian dalam tata kehidupan ekosistem. Kematian dan kehidupan haruslah diterima secara seimbang. Hukum alam memungkinkan mahluk saling memangsa diantara semua spesies. Ini menjadi alasan mengapa manusia boleh memakan unsur-unsur yang ada di alam, seperti binatang maupun tumbuhan. Menurut salah satu tokohnya, John B. Cobb, etika ini mengusahakan keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan keseluruhan dalam ekosistem.
Ekosentrisme dapat dikatakan sebagai lanjutan dari teori etika lingkungann biosentrisme. Kalau biosentrisme hanya memusatkan perhatian pada kehidupan seluruhnya, ekosentrisme justru memusatkan perhatian pada seluruh komunitas biologis, baik yang hidup maupun tidak. Pandangan ini didasarkan pada pemahaman bahwa secara ekologis, baik mahluk hidup maupun benda-benda antibiotik lainnya saling terkait satu sama lainnya. Jadi ekosentrisme, selain sejalan dengan biosentrisme-di mana keduanya sama-sama menentang pandangan antroposentrisme- juga mencakup komunitas ekologis seluruhnya. Jadi ekosentrisme, menuntut tanggungjawab moral yang sama untuk semua realitas biologis.
Di samping itu, etika Lingkungan tidak hanya berbicara mengenai perilaku manusia terhadap alam, namun juga mengenai relasi di antara semua kehidupan alam semesta, yaitu antara manusia dengan manusia yang mempunyai dampak pada alam dan antara manusia dengan makhluk hidup lain atau dengan alam secara keseluruhan.
Menurut Irawati (2007) etika lingkungan merupakan cabang etika aplikasi yang memberikan perhatian landasan moral bagi pelestarian dan perbaikan lingkungan. Dengan demikian, dalam rangka kegiatan pertambangan batubara terbuka maka perusahaan maupun segenap manajemen harus berlandaskan pada etika lingkungan agar kegiatan pertambangan berwawasan lingkungan (green mining). Etika lingkungan muncul disebabkan perkembangnya isu-isu lingkungan terutama meningkatnya masalah pemanasan global (global warming). Pada tahun 1970-an dan 1980-an (Irawati, 2007) menyatakan berkembangnya etika lingkungan yang merupakan studi filsafat yang disebabkan oleh kegiatan pembangunan yang menyebabkan munculnya gas karbon dioksida (CO2), gas metana (CH4), dan gas lain akibat kegiatan pertambangan batubara, industri, transportasi, kegiatan perkotaan, dan kegiatan lain yang menimbulkan dampak lingkungan.
Debat masalah aliran etika lingkungan sudah sejak lama terjadi yang masing-masing punya prinsip atau kepentingan tersendiri. Pada dasarnya, aliran atau teori tentang etika lingkungan dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) teori (Irawati, 2007), yaitu :
1.      Teori Antroposentri.
Dalam memanfaatkan lingkungan biotik (hewan, tumbuhan, dan mikro organisme) dan lingkungan abiotik (tanah, air, dan udara) maka manusia merupakan yang dominan. Manusia didalam kelangsungan hidupnya punya kebutuhan baik sebagai individu, organisasi, dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti : sandang, pangan, dan papan. Manusia berinteraksi dengan lingkungannya dan manusia pula yang dapat menyelesaikan permasalahan lingkungan tersebut. Pada kenyataannya manusia dengan segala kebutuhannya menyebabkan lingkungan baik biotik maupun abiotik menjadi rusak (Santoso, 2000).
Pengaruh manusia dalam merusak lingkungan biotik dan lingkungan abiotik ini sangat besar dan ini telah dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Ar-Ruum Ayat 41 (Qs. 30 : 41) yang berbunyi “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Dari ayat tersebut di atas terlihat bahwa kerusakan yang terjadi adalah ulah manusia dan yang lebih penting sekarang ini hubungan manusia dengan Allah; hubungan manusia dengan manusia, hewan, dan tumbuhan; dan hubungan manusia dengan tanah, air, dan udara semakin menipis. Oleh karena itu, untuk menjaga lingkungan yang lebih baik maka keterkaitan hubungan tersebut perlu dipererat lagi sehingga Allah akan sayang dengan kita maka lingkungan kita akan lebih baik di masa yang akan datang (Sarvestani and Shahvali, 2008). Pengaruh ilmu agama, ilmu sosial, ilmu budaya, ilmu ekonomi, dan ilmu hukum sangat diperlukan untuk mengembangkan nilai, etika, dan moral manusia sebagai sistem kontrol. Ilmu-ilmu tersebut merupakan kontrol manuisa untuk berinteraksi dengan lingkungan biotik dan lingkungan abiotik agar memanfaatkan lingkungan tersebut secara arif dan bijaksana.
2.      Teori Non-antroposentris
Teori yang dikembangkan berdasarkan antroposentris menyebabkan manusia melakukan gangguan dan pengrusakan terhadap lingkungan biotik dan lingkungan abiotik dan bahkan semakin meningkatnya permasalahan lingkungan. Teori non-antroposentris (Stenmark, 2002) juga berkembang dengan tinjauan atau fokus pada non-antroposentris, seperti : ekstensionis, zoo-centris, biosentris, dan ekosentris. Pandangan ekstensionis dalam teorinya mempertimbangkan semua makhluk hidup sangat berperan dalam memelihara lingkungan biotik dan lingkungan abiotik karena makhluk hidup punyai nilai, etika, dan moral. Pandangan zoo-centris melihat semua makhluk hidup sudah cukup untuk memelihari lingkungannya, tetapi perlu mengembangkan syarat-syarat kecukupan tersebut. Pandangan biosentris melihat bahwa makhluk hidup mempunyai kemampuan untuk hidup yang merupakan kriteria pertimbangan nilai, etika, dan moral untuk sebuah tujuan hidup. Manusia, hewan, tumbuhan, dan mikro organisme berhak untuk hidup, berkembang, dan berproduksi. Pandangan ekosentris telah melihat bahwa pandangan ekstensionis, zoo-centris, dan biosentris belum melihat keterkaitan antara lingkungan biotik dengan lingkungan biotik, keterkaitan antara lingkungan biotik dengan lingkungan abiotik, serta antara lingkungan abiotik dengan lingkungan abiotik. Pandangan ekosentris memandang interaksi antar lingkungan tersebut sangat dibutuhkan sehingga kerusakan lingkungan dapat segera diatasi dan mengkritik bahwa manusia selalu mendominasi ala mini yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada alam tersebut (Cafaro, 2002).
3.      Teori Campuran (mixed)
Pandangan teori campuran (mixed) melihat harus ada pertimbangan yang logis dalam pemanfaatan lingkungan. Manusia sebagai makhluk yang sempurna sangat logis memanfaatkan lingkungan untuk kebutuhan hidupnya dan juga makhluk hidup lainnya punya kepentingan yang sama untuk hidup, berkembang dan berproduksi serta hak untuk hidup menjadi prioritas primer (hak untuk hidup) mempunyai prioritas atas kesejahteraan lingkungan, dan kesejahteraan lingkungan memiliki prioritas atas hak asasi manusia yang sekunder (seperti hak atas properti).
Beberapa prinsip yang dapat menjadi pegangan dan tuntunan bagi perilaku manusia dalam berhadapan dengan alam.
  1. Sikap Hormat terhadap Alam (Respect For Nature). Hormat terhadap alam merupakan prinsip dasar bagi manusia sebagai bagian dari alam semesta seluruhnya. Setiap anggota komunitas ekologis, termasuk manusia, berkewajiban menghargai dan menghormati setiap kehidupan dan spesies serta menjaga keterkaitan dan kesatuan komunitas ekologis.
  2. Prinsip Tanggung Jawab (Moral Responsibility For Nature). Manusia mempunyai tanggung jawab terhadap alam semesta (isi, kesatuan, keberadaan dan kelestariannya).
  3. Solidaritas Kosmis (Cosmic Solidarity). Prinsip solidaritas muncul dari kenyataan bahwa manusia adalah bagian yang menyatu dari alam semesta dimana manusia sebagai makhluk hidup memiliki perasaan sepenanggungan dengan alam dan dengan sesama makhluk hidup lain.
  4. Prinsip Kasih Sayang dan Kepedulian terhadap Alam (Caring For Nature). Manusia digugah untuk mencintai, menyayangi, dan melestarikan alam semesta dan seluruh isinya, tanpa diskriminasi dan tanpa dominasi yang muncul dari kenyataan bahwa sebagai sesama anggota komunitas ekologis, semua makhluk hidup mempunyai hak untuk dilindungi, dipelihara, tidak disakiti, dan dirawat.
  5. Prinsip tidak merugikan alam secara tidak perlu
  6. Prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam 
  7. Prinsip keadilan 
  8. Prinsip demokrasi 
  9. Prinsip integritas moral

3.   HUBUNGAN ANTARA TEORI TENTANG NILAI LINGKUNGAN DENGAN TEORI ETIKA LINGKUNGAN
        Etika Lingkungan berasal dari dua kata, yaitu Etika dan Lingkungan. Etika berasal dari bahasa yunani yaitu “Ethos” yang berarti adat istiadat atau kebiasaan. Ada tiga teori mengenai pengertian etika, yaitu: etika Deontologi, etika Teologi, dan etika Keutamaan. Etika Deontologi adalah suatu tindakan di nilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika Teologi adalah baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan atau akibat suatu tindakan. Sedangkan Etika keutamaan adalah mengutamakan pengembangan karakter moral pada diri setiap orang.
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lain baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Aliran etika lingkungan dibagi menjadi:
1.      Shallow Environmental Etnics/Antroposentrisme (antropos = manusia) adalah suatu pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Pandangan ini berisi pemikiran bahwa segala kebijakan yang diambil mengenai lingkungan hidup harus dinilai berdasarkan manusia dan kepentingannya. Jadi, pusat pemikirannya adalah manusia.
2.       Intermediate Environmental Etnics/Biosentrisme adalah suatu pandangan yang menempatkan alam sebagai yang mempunyai nilai dalam dirinya sendiri, lepas dari kepentingan manusia. Dengan demikian biosentrisme menolak antroposentrisme yang menyatakan bahwa manusialah yang mempunyai nilai dalam dirinya sendiri.
3.      Deep environmental ethics /Ekosentrisme, yang disebut juga deep environmental ethics, semakin dipulerkan dengan versi lain setelah diperkenalkan oleh Arne Naes, seorang filsuf Norwegia dengan menyebutnya sebagai Deep Ecology ini adalah suatu paradigma baru tentang alam dan seluruh isinya. Perhatian bukan hanya berpusat pada manusia melainkan pada mahluk hidup seluruhnya dalam kaitan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. Manusia bukan lagi pusat dari dunia moral. Deep Ecology memusatkan perhatian kepada semua kehidupan di bumi ini, bukan hanya kepentingan seluruh komunitas ekologi.      

4.      CONTOH PEMANFAATAN RUMAH BERETIKA LINGKUNGAN
Pemanfaatan rumah beretika lingkungan adalah salah satu contoh etika lingkungan dalam dengan jenis etika ekosentrisme. Ada banyak cara untuk memanfaatkan lingkungan sesuai dengan etika lingkungan, yaitu:
1.      Kolam renang
Bisa dimanfaatkan untuk sarana hiburan dan olahraga .

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjT-Ck2q0Uv2bKI7zhbSXc63kLWPBM7lIgNnqnUdV6VMZSTbUsBY9TJAUFYl9S5t6kUzSFPvDWhNsarKD3wvgF-Jip5dC-UyfNzt5wcHtYmpiRPTBzVBU05OY4MqmhmPDWBZ3yE1hp3czE/s1600/20140411_173335.jpg


2.      Kolam ikan
Adanya kolam ikan dapat menguntungkan dari berbagai aspek. Dari segi ekonomi ikan yang dipelihara dapat dijual. Selain itu dapat dikonsumsi untuk pemenuhan gizi keluarga. Dari segi estetika dapat menjadi sarana yang memperindah rumah serta dapat pula dipergunakan untuk sarana refreshing keluarga misalnya memancing.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOwjiWeHQ-aaCENDP8WQ56MSuLnJ8NoKtttv2FzcHiAJZglISBwx2GsujXjsyQvK67F_DtnnqdAhHPdbl-K5QiEuMiclTB2d6lfR6kYbSQIHMV29BiHBe9zKawpDhY4Kec6RJk0bEjVI0/s1600/20140411_174015.jpg


3.      Kebun / Taman
Pemanfaatan halaman rumah dengan menanam berbagai tanaman berupa buah, sayuran dan bunga dapat menyeimbangkan ekosistem di sekitar rumah. Selain itu dapat memberikan banyak manfaat baik dari segi ekonomis maupun segi estetika.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjgyTpFYGfrjhl0BSWp54SoJGFU8gz2wy1z0JoeSSIX2KxpAIlc_Q0NFC_QSpDichXpoiOG13tXM84e0WPvqtE1hWIZn_r3JtwqhPvFiuR7szNKv7zA2ISo9nI6737BVDQz8LbE9GRVtKg/s1600/20140411_172356.jpg







5.      KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Ø   Nilai atau value adalah ukuran (pada diri seseorang) tentang sesuatu (sikap, kata, situasi dan lain lain) yang dapat (selalu atau sering kali) mempengaruhi perilakunya. Nilai selalu mempunyai kaitan dengan norma atau petunjuk-petunjuk agar mempunyai hidup serta berperilaku yang baik.
Ø   Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lain baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Ø   Etika Lingkungan disebut juga Etika Ekologi. Etika Ekologi selanjutnya dibedakan dan menjadi dua  yaitu etika ekologi dalam dan etika ekologi dangkal.
4.2 Saran
Ø   Diharapkan dengan adanya teori-teori apalagi di dasari dengan undang-undang dan peraturan yang mengatur suatu etika lingkungan tersebut agar menusia lebih menghargai, melestarikan, memelihara dan menjaga alamnya sendiri.
Ø   Diharapkan bahwa setiap masyarakat tentunya mempunyai hak yang sama atas pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sehingga, setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Selain mempunyai hak, setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan sekaligus perusakan lingkungan hidup.
Ø   Dari gambaran di atas menunjukkan bahwa betapa pentingnya bagi kita semua untuk terus menjaga kelestarian secara bersinergi bagi semua pihak. Baik dari perwujudan kebijakan pemerintah dan didukung oleh seluruh komponen masyarakat. Jika pemerintah mampu memberikan kebijakan yang berpihak terhadap kelestarian lingkungan, maka dengan sendirinya masyarakat juga akan mengikuti dan bahwa mendorong terwujudnya lingkungan yang lestari dan kenyamanan.


No comments:

Post a Comment